Cerpen | MALAM
"Malam"
Sepucuk surat dengan dua sayap kecil di kanan-kirinya melayang bebas
entah dari mana asalnya. Ku perhatikan surat itu masuk melalui celah
kotak pesan yang ada di halamanku. Aku turun dari atap teras rumahku
lalu mengubek box pesan itu. Kuraih sepucuk surat. Aha, dapat. Masih
terbungkus rapi. Tak kukenali siapa pengirimnya. Hanya ada foto
perempuan. Mungkin foto si pengirim.
Kuhidu bau amplopnya. Hmm aromanya wangi khas aroma kertas yg masih
baru. Aku suka aroma kertas yg masih baru. Bukan karna warnanya kuning.
Tapi karena, ah entahlah. Jangan dipikirkan. Yang aku inginkan sekarang
adalah segera membuka amplop dan mengetahui isi suratnya.
Perlahan kubuka dan kubaca pesannya. Aku hanya menggeleng. Isinya hanya
sesingkat itu. Satu kata yang aku sudah terlalu paham apa maknanya.
Sudah terlalu sering kudengar, dan hampir tak ingin kudengar lagi
rasanya.
"Malam", begitu isinya. Seorang perempuan mengirimiku pesan dan hanya
itu isinya. Satu kata yang sudah jelas aku terlalu paham apa maknanya.
Ah, atau bagaimana kalau kali ini aku berpura-pura tidak paham saja
dengan kata itu?
Malam, hm?
Malam.
Apa itu 'malam'? Aku tidak tau apa itu malam. Sungguh. Atau mungkin aku harus cari entri kata itu di kamus? Ya, kamus!
Argh... Lupakan saja! Aku tidak bisa berbohong kepada diriku sendiri.
Aku tau apa itu 'malam'. Aku tau betul apa artinya itu. M-A-L-A-M. Hanya
satu kata yang disusun dari 3 huruf. Maksudku 5 huruf kalau kuhitung
dengan tidak memperhatikan huruf yang berulang. Malam hanyalah satu kata
yang jika dibaca dari belakang pun bunyinya tetap sama. Malam adalah
sebuah kata yg jika dijadikan pesan, orang skeptis tidak akan
menanggapinya dengan senang hati. Mengapa malam? Ada apa dengan malam?
Apakah ini ajakan makan malam? Hm, tidak secepat itu. Atau apakah ini
maksudnya 'malam' (lilin) untuk menggambar di kain batik? Sepertinya
juga bukan.
Lalu kenapa dengan malam? Ada apa dengan malam? Malam ya malam (aku
tidak tahu harus pakai titik atau tanda seru). Apakah dia ingin
memberitahuku bahwa ini sudah malam? Akupun tahu ini sudah malam. Aku
sudah tahu.
Lalu dia berharap aku akan membalas apa? Apakah, "Malam juga.. Kamu lagi apa?" Ataukah "Iya, malam. Malam yang indah bukan?"
Jangan harap. Aku bukan orang seperti itu. Akulah orang skeptis itu,
yang tidak akan menanggapi kata 'malam' dengan cukup senang hati.
Kulipat kembali amplopnya. Kulirik lagi foto perempuan yang ada di situ.
Benar-benar tidak ku kenali. Kulipat sisi-sisi amplop surat itu dengan
rapi dan ku letakkan di keranjang kecil bersama tumpukan surat-surat
lama. Aku ingin semua amplop surat tertata rapi. Jadi aku sengaja
mengelompokkan surat demi surat berdasarkan pengirimnya. Surat dari
pengirim yang tak kukenal ku masukkan ke dalam keranjang biru.
Kini perhatianku tak lagi tertumpu pada tumpukan surat. Aku kembali pada
aktivitasku, meneruskan membaca buku antologi cerpen yang punya banyak
nama pengarang. Beberapa karya aku suka, namun beberapa lainnya tidak.
Kubolak-balik halaman demi halaman. Kubaca kilasan dan kutipan
ceritanya. Jika aku tertarik baru akan aku baca sampai habis. Namun
semakin lama membacaku semakin cepat, malah kini hanya memperhatikan
gambar-gambarnya saja. Aku jenuh juga. Bosan terus-terusan membaca.
Walaupun itu hobiku, tetap saja lama-kelamaan akan bosan. Seperti kata
pepatah, "sepandai-pandainya tupai melompat, lama-kelamaan akan capek
juga..." Eh, sepertinya bukan itu pepatah yang tepat. Ah lupakan saja.
Perhatianku teralih ke arah tumpukan amplop tadi. Iseng, kubaca lagi
surat dari orang tak dikenal itu. Kucoba tulis dua-tiga huruf, lalu
membentuk satu kata, namun kucoret (lagi).
Setiap aku akan menulis sesuatu, aku seakan sudah bisa menebak akan seperti apa balasannya.
Author: Heri Gunawan
No comments:
Post a Comment